Monday, December 31, 2018

METOPEN DAN BIDANG ILMU

METOPEN DAN BIDANG ILMU

Diskursus tentang ilmu pengetahuan merupakan pergolakan dinamis dalam ranah akademik. Perkembangan ilmu pengetahuan yanag demikian pesat menjadikan antar bidang ilmu perlu “sinkronisasi”. Meminjam bahasa Amin abdullah adalah konsep integrasi interkoneksi. Disiplin ilmu yang berbeda,dalam pencapaiannya dibutuhkan satu pisau analisis untuk memudahkan pengembangan yaitu tentang Metodologi penelitian.Metodologi penelitian bagi sebagian orang merupakan sebuah ilmu yang di “anggap” sulitBahkan saking dianggap menakutkan ada beberapa yang kemudian membatasi untuk padametode tertentu dalam penelitiannya. Sementara kita tahu, terutama sebagai aktifis dalam dunia pendidikan dituntut untuk mengetahui semua jenis metode dalam penelitian, minimal menjadi referensi tambahan dalam menulis atau melakukan bimbingan kepada mahasiswa. Tulisan sederhana ini mencoba untuk memudahkan gambaran tentang metode penelitian yang lazimnya dilakukan, minimal sekali untuk pemahaman penulis sendiri.
Istilah penelitian seringkali kali kita dengar dalam ranah ilmu pengetahuan (science). Muncul kemudian pertanyaan apakah penelitian itu?Apakah metode yang dilakukan dalam penelitian? Apa pengetahuan itu ? apa ilmu pengetahuan itu? Dan mungkin banyak lagi pertanyaan yang akan muncul.
PENELITIAN DAN ILMU PENGETAHUAN
Dalam buku metode penelitian, Latipah (2012) menyebutkan bahwa Penelitian (research)merupakan rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan suatu permasalahan. Ditambahkan Azwar (2011), bahwa Fungsi penelitian adalah mencari penjelasan danjawaban terhadap permasalahan serta memberikan alternatif bagi kemungkinan yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
 Diperjelas oleh Kerlinger & Lee (Dalam Latipah : 2012) bahwa science (ilmu pengetahuan)merupakan pengetahuan yang diperoleh manusia berdasarkan metode ilmiah sehingga pengetahuan yang diperoleh membentuk suatu konsep mengenai sesuatu, yang kemudian dikenal dengan istilah ilmu pengetahuan. Adapun common sense (pengetahuan) adalah pemikiran atau pengetahuan awam yang diperoleh melalui metode-metode non-ilmiah sehingga tidak dapat dipastikan kebenarannya. 
Pengertiandiatas secara tidak langsung dapat kita ambil gambaran bahwa selain ilmu pengetahuan yang di dapatkan dengan cara-cara ilmiah, berarti ada sesuatu  yang tidak didapatkan dengan cara-cara ilmiah.
Pengetahuan bisa didapatkan karena adanya pendapat seseorang yang dihormati sehingga bisamenjadi sesuatu yang dikerjakan dalam lingkungan sekitar. Contoh sederhana adalah ketika ada yang meyakini bahwa anak dari orang tua yang tidak sekolah biasanya bodoh. Sementara dalam ilmu pengetahuan perlu dilakukan dengan cara-cara ilmiah dan tahapan yangdilakukan sebelum di pakai sebagai dasar.
Salah satu dasar ilmu pengetahuan adalah adanya kegiatan dalam proses tersebut yang biasa disebut dengan kegiatan ilmiah. Ada perbedaan dalam kegiatan ilmiah dan dan non ilmiah sebagaimana yang di jelaskan Shaugnessy(dalam Latipah : 2012) bahwa dalam pendekatan ilmiah biasa menggunakan pendekatan empiris, kritis, tersistem, obyektif, definisi jelas, valid,reliable dan dapat dilaporkan. Sementara pendekatan non ilmiah lebih banyak dengan pendekatan sambil lalu sebagai pemikiran umum sehari hari.
lebih lanjut,berdasarkan pengertian diatas metode penelitian yang merupakan kegiatan ilmiah akhirnya perlu beberapa ketentuan yang harus diperhatikan: 
  1. Metode penelitianbutuh variabel penelitian yang perlu dijelaskan tentang definisinya terlebihdahulu. Cara pengukuran juga harus jelas.
  2. Metode penelitian mempunyai tujuan untuk membahas persoalan yang ada dan menemukan solusi atas masalah tersebut. Tidak sekedar melihat adanya hubungan antar variabel, tetapijuga bisa menjelaskan lebih jauh seberapa besar pengaruh dalam hubunganvariabel yang diteliti.
  3. Metode penelitian harus sistematis. Langkah yang ditempuh adalah melakukan persiapan,pelaksanaan, analisis data sampai kepada pelaporan hasil penelitian dengan mengikuti alur penelitian yang benar. Dari sini terlihat bahwa kegiatan ilmiahlebih terencana dan terstruktur.
  4. Metode penelitianterkontrol. Dalam kegiatan ilmiah tentu tidak terlepas dari fenomena atau gejala yang akan diteliti. Gejala yang menjadi fokus penelitian harusdikendalikan dari fenomena lain yang mengganggu. Artinya fokus pembahasan pada variabel yang sudah dijadikan dasar penelitian.
  5. Obyektif,penelitian mendasarkan pada pengamatan, analisis data yang telah dilakukan dankesimpulan hasil secara obyektif tanpa dipengaruhi kepentingan tertentu.
  6. Hasil penelitian tahan uji. Artinya bahwa proses dan kesimpulan hasil penelitian telah dilakukan dengan menggunakan teori yang mendukung dan metode yang benar sehingga hasil penelitian dapat dikembangkan lagi oleh peneliti sendiri atau peneliti lain.Hasil penelitian juga diharapkan dapat diterapkan dalam kondisi dan situasi lain yang lebih luas.
MACAM- MACAM PENELITIAN
Banyaknya kegiatan ilmiah yang dilakukan berdasarkan disiplin ilmu dan metode dalam ilmuitu sendiri membuat penelitian mempunyai ragam yang banyak, diantaranya :
  1. Penelitian Berdasar Tujuan
Penelitian dengan dasar tujuan ini mempunyai jenis yaitu penelitian ekploratif, research dan development (R & D) dan verifikatif.
  1. Penelitian Eksploratif
Secara sederhana dari definisi penelitian ini adalah keinginan untuk menggali lebih dalam tentang sebab atau hal hal yangmempengaruhi sesuatu. Belum lama ini kita disuguhkan fenomena tentang LGBT(lesbian, gay, biseksual,transgender). Fenomena yang terjadi di luar negeri juga dirasakan di dalam negeri yang kemudian sempat menjadi persoalan yang cukup menguras pemikiran dan waktu. Tentu fenomena yang muncul akan ada 2 kubuyang saling bertentangan yaitu yang pro dan kontra. Penelitian eksploratis ingin mengetahui dan menemukan atas sebab sebab fenomena tersebut.
  • Penelitian Research and Development (R & D)
Perusahaan – perusahaan yang sudah besar banyak menggunakan metode penelitian ini. Dibagian penelitian dan pengembangan (litbang) mempunyai peran besar. Tujuan penelitian ini adalah ingin melakukan pengembangan dalam bidang tertentu dalam perusahaan tersebut. Misalnya adanya fenomena burn out? yang terjadi di sebuah unit perusahan. Perusahan melakukan penelitian R and D untuk mengatasinya.
  • Penelitian Verifikatif
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengecek kebenaran dari hasil penelitian terdahulu. Seperti contoh adanya penelitian yang telah membahas tentang prestasi belajar dalam pendidikan agama islam pada sekolah dasar (SD/MI). Penelitian tersebut menemukan peranan orang tua terutama pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap prestasi belajar siswa. Beberapa waktu setelahnya akan ada peneliti lain yang melakukan penelitian sejenis untuk mengecek hasil dari peneliti sebelumnya.
  • Penelitian Berdasar Pendekatan
Penelitian berdasarkan pendekatan yang perlu difahami adalah adanya 2 jenis pendekatan yang lakukan yaitu pendekatan  pada pelaksanaan penelitian dan pendekatan analisisnya. Berdasarkan pendekatan pelaksanaan penelitian dapat dibagi pada 2 jenis yaitu Longitudinal dan pendekatan silang (Latipah : 2012). Misalnya dalam pembahasan tentang cara berpikir anak sekolah dasar baik di SD atau MI dari kelas i – VI, maka penelitian longitudinal akan mencatat cara berpikir anak ketika di kelas I,II, III,IV, V dan VI. Misalnya pencatatan pertama dilakukan saat awal masuk sekolah yaitu pada bulan Juli, maka pencatatan berikutnya juga dilakukan pada bulan yang sama.
Sementara penelitian dengan pendekatan silang (cross-section) seperti pendekatan longitudinal tetapi yang membedakan adalah pelibatan subyek yang digunakan beragam atau berbeda dari beberapa sekolah. Tidak seperti dalam pendekatan longitudinal yang menggunakan subjek yang sama (satu sekolah). Pelibatan banyaksubjek misalnya dari 10 sekolah yang ada, maka dalam waktu yang bersamaan peneliti mencatat dari seluruh sekolah mulai kelas I, II, III, IV, V dan VI.
Selain pendakatan pada pelaksaaan, pendekatan lain yang dilakukan adalah berdasarkan pendekatan analisisnya. Berdasarkanpendekatan analisis ini yang sering kita fahami sebagai penelitian kuantitatif dan kualitatif. Secara sederhana, PenelitianKuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yangdiolah dengan metode statistika. Pada dasarnya pendekatan kuantitatif dilakukanpada penelitian inferensial (dalam rangka pengujian hipotesis) dan menyandarkankesimpulan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesisnihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikansi perbedaan kelompokatau signifikansi hubungan antar variabel yang diteliti. Biasanya penelitiankuantitatif menggunakan sampel dalam jumlah besar.
Sementara Penelitian Kualitatif penekankannya pada proses analisis penyimpulan deduktif dan induktif dan pada analisis terhadap dinamika hubungan antar fenomena yang diamati, dengan menggunakan logika ilmiah. Pendekatan kualitatif bukan berarti tidak menggunakan dukungan data kuantitatif, namun penekanannya tidak pada pengujian hipotesis melainkan pada usaha menjawab pertanyaan penelitian melalui cara-cara berpikir formal dan argumentatif.
  • Penelitian Berdasar Kedalaman Analisis
Penelitian berdasar kedalaman analis ini dikelompokkan dalam dua jenis yaitu penelitian deskriptif dan penelitian inferensial.
  1. Penelitian Deskriptif
Seorang peneliti yang menggunakan penelitian deskriptif melakukan analisis hanya sampai pada taraf deskripsi, yaitu menganalisis dan menyajikan fakta secara sistematik sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami dan disimpulkan. Dasar kesimpulan yang diberikan adalah dasar faktualnya sehingga data yang dieproleh menjaid rujuakannya. Pada kesimpulan dan pembahasan angka yang diperolah biasanya diolah tidak terlalu dalam dengan menggunakan analisis persentase dan analisis kecenderungan (trend).
  • Penelitian Inferensial
Penelitian inferensial melakukan analisis hubungan antarvariabel dengan pengujian hipotesis. Dengan demikian kesimpulan penelitian jauh melampaui sajian data kuantitatif saja. Dalam penelitian ini dapat dibicarakan tentang besarnya peluang kesalahan dalam pengambilan kesimpulan.
  • Penelitian Berdasar Penggunaan
Penelitian dasar atau penelitian murni (pure research) dan penelitian terapan (applied research) merupakan jenis penelitian berdasarkan penggunaan.
Penelitian dasar merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan ilmiah atau untuk menemukan bidang penelitian baru tanpa suatu tujuan praktis tertentu. Ini artinya bahwa hasil penelitian tersebut tidak dapat segera digunakan, kecuali untuk waktu jangka panjang.
Penelitian terapan merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan ilmiah dengan suatu tujuan praktis. Dengan demikian hasilnya diharapkan segera dapat digunakan untuk keperluan praktis. Misalnya penelitian untuk menunjang peningkatan prestasi belajar, penelitian untuk melandasi kebijakan pengambilan keputusan dalam pembelajaran, dan sebagainya.
  • Penelitian Berdasar Sifat Permasalahan
Berdasar sifat permasalahannya, penelitian diklasifikasikan ke dalam tujuh jenis yaitu:
  1. Penelitian deskriptif
Penelitian deskriptif merupakan salah satu jenis penelitian yang banyak berkaitan dengan gambaran sosial, setting hubungan anter fenomena. Atau dengan kata lain penilitian deskriptif merupakan salah satu metode penelitian yang menggabarkan obyek sesuai dengan kondisi aslinya (apa adanya). Dalam pengumpulan data untuk peneliti melaporkan keadaan dan kondisi obyek atau subyek yang diteliti sesuai dengan kondisi sesungguhnya.
Secara sistematis penelitian deskripstif akan menjelaskan gambaran yang akurat tentang sebuah kelompok dan dinamika sosialnya, menjelaskan mekanisme hubungan antar kelompok, bahkan sampai menyajikan terjadinya sebuah hubungan dengan mengklasifikasi subyeknya. 
Dalam perkembangan terkindalam bentuk deskriptif. Kedua, persoalan sosial, pendidikan, keagamaan, sangat banyak variannya permasalahannya , sehingga sesuai dengan metode deskriptif.  
  • Penelitian perkembangan
Penelitian perkembangan biasanya berkaitan dengan perubahan waktu. Tujuan dalam penelitian ini mempelajari pola dan urutan perkembangan yang sesuai dengan perubahan waktu atau periode tertentu. Persoalan dalam dunia pendidikan misalnya dalam melihat pola perkembangan dan pertumbuhan pada siswa sekolah dasar.
  • Penelitian kasus dan lapangan
Studi kasus dalam penelitian lapangan biasanya mencoba melihat dan mencermati individu atau sebuah unit tertentu secara mendalam. Peneliti ingin menemukan variabel penting yang melatar belakangi adanya kasus tersebut. Titik tekannya adalah pada mengapa individu belakukan perbuatan tersebut? Apa bentuk tindakan individu? Bagaimana reaksi individu terhadap lingkungannya?
Penelitian studi kasus pada dataran oyek atau subyek mungkin terlihat sempit, tetapi penelitian ini biasanya membutuhkan kedalaman dalam analisisnya. Konsekuensi logis dari penelitian ini adalah waktu yang dibutuhkan relatif lebih lama. Banyak faktor yang melingkupi dalam kasus tersebut. Bisa jadi persoalan lingkungan, keluarga, pengalaman masala lampau menjadi salah satu faktornya. Dalam dunia pendidikan mungkin kita sering mendengar ada siswa yang mempunyai sifat keras kepala, susah diatur dan lainnya. Tetapi disisi lain anak tersebut mempunyai prestasi yang bagus. Fenomena perilaku siswa ini dapat menjadi satu contoh dalam penelitian “kasus”. Sebab siswa mempunyai tingkah laku yang demikian, apa latar belakangnya, bagaimana kondisi keluarga dan lingkungannya, dan lainnya.
  • Penelitian korelasional
Menurut Faenkel dan Wallen,(dalam Latipah 2012), Penelitian korelasi atau korelasional adalah suatu penelitian untuk mengetahui hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih tanpa ada upaya untuk mempengaruhi variabel tersebut sehingga tidak terdapat manipulasi variabel. Adanya hubungan dan tingkat variabel ini penting karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian. Ditambahkan  Mc Millan & Schumacher, dalam latipah (2012) jenis penelitian ini biasanya melibatkan ukuran statistik/tingkat hubungan yang disebut dengan korelasi.
  • Penelitian kausal-komparatif
Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk membandingkan suatu variabel (objek penelitian), antara subjek yang berbeda atau waktu yang berbeda dan menemukan hubungan sebab-akibatnya (Latipah: 2012).
Dengan kata lain, penelitian kausal komparatif adalah penelitian yang diarahkan untuk menyelidiki hubungan sebab-akibat berdasarkan pengamatan terhadap akibat yang terjadi dan mencari faktor yang menjadi penyebab melalui data yang dikumpulkan. Pendekatan dasar dalam penelitian ini adalah memulai dengan adanya perbedaan dua kelompok dan kemudian mencari faktor yang mungkin menjadi penyebab atau akibat dari perbedaan tersebut.
  • Penelitian eksperimental
Menurut Danim (dalam Latipah : 2012) Penelitian eksperimental dapat diartikan sebagai sebuah studi yang objektif, sistematis, dan terkontrol untuk memprediksi atau mengontrol fenomena. Penelitian eksperimen bertujuan untuk menyelidiki hubungan sebab akibat (cause and effect relationship), dengan cara mengekspos satu atau lebih kelompok eksperimental dan satu atau lebih kondisi eksperimen. Hasilnya dibandingkan dengan satu atau lebih kelompok kontrol yang tidak dikenai perlakuan.
Beberapa karakteristik penelitian eksperimental, yaitu:
  1. Variabel-variabel penelitian dan kondisi eksperimental diatur secara tertib ketat (rigorous management), baik dengan menetapkan kontrol, memanipulasi langsung, maupun random (rambang).
  2. Adanya kelompok kontrol sebagai data dasar (base line) untuk dibandingkan dengan kelompok eksperimental.
  3. Penelitian ini memusatkan diri pada pengontrolan variansi, untuk memaksimalkan variansi variabel yang berkaitan dengan hipotesis penelitian, meminimalkan variansi variabel pengganggu yang mungkin mempengaruhi hasil eksperimen, tetapi tidak menjadi tujuan penelitian. Di samping itu, penelitian ini meminimalkan variansi kekeliruan, termasuk kekeliruan pengukuran. Untuk itu, sebaiknya pemilihan dan penentuan subjek, serta penempatan subjek dalam kelompok-kelompok dilakukan secara acak (random).
  4. Validitas internal (internal validity) mutlak diperlukan pada rancangan penelitian eksperimental, untuk mengetahui apakah manipulasi eksperimental yang dilakukan pada saat studi ini memang benar-benar menimbulkan perbedaan.
  • Validitas eksternalnya (external validity) berkaitan dengan bagaimana keterwakilan penemuan penelitian dan berkaitan pula dengan perlakuan secara umum pada kondisi yang sama.
  • Semua variabel penting diusahakan konstan, kecuali variabel perlakuan yang secara sengaja dimanipulasikan atau dibiarkan bervariasi.
  • Penelitian tindakan
Penelitian tindakan meruapakan sebuah penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pada suatu kelompok subyek yang diteliti atau untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi kelompok tersebut. Keberhasilan dari tindakan yang dilakukan akan diberikan tindakan lanjutan yang bersifat penyempurnaan dan disesuaikan dnegan kondisi  sehingga dapat diperoleh hasil yang lebih baik. Dalam dunia pendidikan penelitian ini mulai banyak dipakai dalam kelas sehingga sering disebut dengan penelitian tindakan kelas (PTK/classroom action research). Tidak hanya yang dilakukan guru dalam kelas, penelitian tindakan juga bisa dilakukan oleh kepala sekolah atau pimpinan lainnya. Jadi Penelitian tindakan kelas adalah bentuk pencermatan terhadap kegiatan belajar berupa tindakan, yang sengaja dimunculkan dalam sebuah kelas secara bersama dan tindakan tersebut diberikan oleh guru atau dilakukan siswa dengan arahan dari guru.
Ada yang perlu dicermati dalam penelitian tindakan kelas ini, bahwa yang ditonjolkan adalah kegiatan yang harus dilakukan siswa. Banyak yang terjebak bahwa yang ditonjolkan adalah tindakan yang dilakukan guru itu sendiri, misalnya dengan memberikan tugas kelompok kepada siswa.
Dalam laporan penelitian tindakan yang dilakukan guru, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu :
  1. Penelitian tindakan kelas harus bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran atau hal hal yang terjadi dalam pembelajaran.
  2. Guru harus cermat dalam pengamatannya. Dilakukan secara terus menerus, obyektif dan sistematis. Atau penelitian tindakan ini dilakukan pencatatan, perekaman sehingga dapat diketahui dengan pasti tingkat keberhasilannya. Adanya penyimpangan juga perlu dicatat supaya seluruh hasil pencermatan tersebut akan menentukan tindak lanjut yang harus diambil segera oleh peneliti.
  3. Penelitian minimal dilakukan dalam dua siklus tindakan yang berurutan. Siklus pertama sangat menentukan siklus berikutnya. Dan siklus lanjutan tidak dapat dirancang dan  dilakukan apabila siklus yang sebelumnya belum terjadi. Hasil refleksi dari siklus awal harus tampak untuk digunakan sebagai bahan masukan  perencanaan siklus berikutnya.
  4. Penelitian tindakan kelas yang dilakukan guru harsu dikenakan untuk seluruh siswa. Tidak boleh dipilih-pilih.  Tindakan yang dilakukan juga terjadi secara wajar, tidak mengubah jadwal dan tidak boleh merugikan siswa.
  5. Dalam penelitian tindakan kelas, harus dapat dikemukakan kembali mengenai tindakan, suasana ketika terjadi tindakan, reaksi siswa, urutan peristiwa dan hal lain yang diraskan sebagai kelebihan dan kekurangan dan dibandingkan dengan rencana yang sudah dirancang sebelumnya.
  • PENELITIAN BERDASARKAN OBYEK
Sesuai dengan metode penelitian yang sudah dibahas diatas, ragam penelitian berdasarkan obyek penelitian bisa jadi sangat bermacam-macam. Disini penulis hanya akan mengambil beberapa contoh saja dalam pendekatan obyek ini untuk dijadikan pengantar obyek penelitian.
  1. Penelitian etnografi
Penelitian etnografis adalah turunan dari riset kualitatif. Dari segi ontologis dan epistemologis, riset kualitatif berbeda dengan kuantitatif. Riset kualitatif menekankan interaksi sosial dengan si subyek agar dapat menangkap pemahaman subyek (native understanding) atau emic view sebagai lawan dari ethic view. Riset kualitatif menekankan pada norma, nilai dan makna di balik gejala yang diamati. Sementara riset kuantitatif dituntut untuk menjaga independensi dengan subyek yang diteliti (M. Adlin Sila).
Penelitian etnografi yang merupakan turunan riset kualitatif lebih menggunakan logika induktif. Induktif mengambil kesimpulan dari yang khusus ke yang umum dan focus pada pola (pattern) khusus dan unik (idiografik).
Penelitian etnografi umumnya memakai metode pengumpulan data melalui wawancara (interview) dan pengamatan (observation). Dalam pengumpulan data, keahlian dan pengalaman peneliti sangat dibutuhkan, selain adanya kepercayaan dari subyek. Pengamatan  yang dilakukan tidak hanya apa yang dikatakan subyek, tapi juga mimik muka, bahasa tubuh (gestures dan body languages) dan atmosfir si subyek ketika memberikan pernyataan atau menjawab pertanyaan.
Syarat lain dalam penelitian etnografi adalah Terjun ke lapangan (Entering the Field). Dalam memutuskan pengambilan data lapangan dibutuhkan seseorang yang memiliki otoritas untuk masuk ke lokasi (gatekeepers). Orang ini bisa menjadi pembantu di lapangan ketika ingin menemui seseorang atau ke lokasi yang tidak semudah ditemui jika tanpa bantuan orang yang sudah dikenal. Namun diharapkan orang ini tidak lebih sebagai pembantu dan tidak sampai mengarahkan tujuan riset. Penampilan juga perlu diperhatikan dilapangan ketika bertemu dengan subyek. Seperti; cara berpakaian, cara berbicara dan berperilaku, karena semuanya itu memberikan pesan simbolik. Penelitian etnografi juga perlu memperhatikan sesuatu yang tidak lazim. Artinya  bahwa peneliti sebagai orang asing tidak bisa menarik ukuran layaknya apa yang dilakukan oleh peneliti. Karena sesuatu yang unik di lapangan menjadi data lapangan yang otentik dan original. 
Langakh berikutnya setelah adanya pengambilan data lapangan,maka perlu dilakukan pembuatan Rapport. Rapport adalah kemampuan peneliti membangun hubungan yang bersahabat, berbahasa yang sama, tertawa dan menangis bersama dengan anggota masyarakat yang diteliti, sehingga memperoleh pemahaman terhadap cara melihat dan merasakan tentang kejadian dari perspektif orang lain (empathy). Sehingga ada yang menyebut bahwa rapport adalah kunci dalam penelitian ini. Kendala yang sering dialami dalam proses membuat rapport adalah adanya situais yang tidak bersahabat dari subyek, seperti tidka kooperatif, dan tidak mau berpartisipasi. Keterampilan komunikasi, merayu data dan memahami kondisi subyek sangat dibutuhkan.
                Pengamatan dan pencatatan selama proses penelitian dalam etnografi dangat penting. Keterbatasan peneliti dalam memory ingatan sangat terbatas. Selain karena kondisi subyek yang bisa berubah setiap saat. Dalam meninggalkan lokasi penelitian juga diperlukan etika layaknya pertama melakukan penelitian. Yang lebih Perlu disampaikan penelitian akan berakhir kapan. Hal ini untuk memberikan komunikais yang baik. Karena dalam penelitian etnografi sangat dimungkinkan pelepasan atau perpisahan dilakukan secara adat setempat. Sebagai bentuk pengahargaan sudah terjalin adanya hubungan masyarakat.  
  • Penelitian manuskrip
       Penelitian dengan obyek manuskrip sebenarnya merupakan penelitian yang menarik. Adanya manuskrip yang berbentuk tulisan dalam pelepah lontar, bambu dan lainnya menggambarkan adanya periode sejarah dalam komunitas tertentu. Pembahasan dalam penelitian ini bisa meliputi budaya masyarakat, hasil peradaban dan kearifan lokal lainnya. Dalam penelitian manuskrip perlu perlu perlakukan khusus. Karena lebih banyak yang diteliti adalah bentuk hasil budaya.
Menurut fahriati dalam diklat penelitian di kemenag tanggal 2 agustus: 2016. Ada beberapa treatment yang perlu dilakukan dalam penelitian manuskrip, Pertama ,  perlu memahami tentang konsep filologi. philos (cinta) dan logos (kata) Khusus: Ilmu yang mempelajari naskah-naskah lama untuk menetapkan keasliannya, bentuknya semula, makna isinya, serta konteks penulisannya; Ilmu filologi dapat dijadikan sumber-sumber utama bagi para sejarawan dalam penelitian dan penyusunan kembali (rekonstruksi) sejarah. Kedua , perlu memahami tentang ilmu kodikologi dan paleografi. Selain pastinya yang ketiga adalah ilmu sejarah.
Ketiga ilmu ini yang perlu dikuasai peneliti untuk melakukan penelitianmanuskrip. Selain kemampuan komunikasi dalam pengambilan data dilapangan danjuga keberanian dalam resiko penelitian manuskrip. Karena bisa jadi obyek penelitian dianggap keramat dan tidak sembarangan bisa diambil datanya untukkepentingan penelitian.
  • Penelitian kebijakan
Dalam membuat kebijakan, pemerintah perlu melakukan adanya kajian kebijakan (policy brief ) untuk mendukung munculnya kebiajakn tersebut. Penelitian kebijakan dipakai untuk membantu memudahkan munculnya kebijakan tersebut. Apa yang perlu dilakukan oleh pemangku kebijakan.
Dengan kata lain Penelitian kebijakan adalah proses penyelenggaraan penelitian untuk mendukung kebijakan atau analisis terhadap masalah-masalah sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk membantu pengambil kebijakan memecahkan masalah dengan jalan menyediakan rekomendasi yang berorientasi pada tindakan atau tingkah laku pragmatik
Menurut Ann Majchrzak dalam penyampaian materi diklat teknis kemenag 30 agustus 2016menyebutkan bahwa penelitian kebijakanadalah tulisan yang dibuat atas respon terhadap suatu kebijakan tertentu/khusus yang dikeluarkan oleh suatu instansipemerintah/non pemerintah dengan tujuan untuk memberikaninformasi/pandangan lain bagi pengambil kebijakan dan pihak-pihak yang terkaitserta masyarakat umum atas kebijakan yang dibuat.
Ada beberapa hal yang disukai oleh pengambil kebijakan terkait dengan penelitian yang dilakukan, diantaranya:
  1. Penyediaan data empiris yang solid dan terkini
  2. Mengidentifikasi tren
  3. Mengantisipasi tantangan potensial
  4. Mengembangkan alat untuk pengukuran
  5. Mengevaluasi efektivitas kebijakan
 Berdasarkan beberapa hal diatas, penelitian kebijakan akan dapat menjadi jembatan antara kepentingan masyarakat dan keinginan pemangku kebijakan dalam merealisasikan tujuan yang diharapkan.
METOPEN SEBAGAI JEMBATAN ILMU PENGETAHUAN
Diakhir tulisan ini, penulis mencoba memberikan gambaran sederhana tentang metode penelitain kaitanya dengan ilmu pengetahuan atau bidang ilmu. Kondisi atau realitas yang terjadi dalam masyarakat, baik secara pengetahuan dan keilmuan, sosial, keagamaan, hasil budaya dan lainnya ternyata diperlukan adanya sebuah jembatan supaya sambung antara satu dengan yang lain. Ilmu pengetahuan meskipun bidang garapnya berbeda, tetapi ada satu persamaan yaitu adanya metode dalam keilmuan tersebut. Khususnya dalam metode penelitian yang dilakukannya.
Mengutip bahasa prof. Amin abdullah bahwa antar ilmu itu adalah merupakan integrasi (gabungan) dan akan selalu terkoneksi (interkoneksi) antar bidang ilmu tersebut. Ilmu pengetahuan dipakai untuk mengetahui kondisi masyarakat baik dulu, sekarng ataupun masa yang akan datang. Banyaknya penelitian, pengetahuan yang bisa didapatkan secara empiris dan bisa diterima secara ilmu pengetahuan akan menjadikan seluruh bidang ilmu menjadi semakin maju. Banyak para tokoh dan ilmuwan masa lalu yang tidak hanya pintar dalam satu disiplin ilmu saja, tetapi mereka mempunya keluawan ilmu dan metode yang baik dalam menjelaskna pengetahuan. Diharapakan dengan banyaknya penelitian dengan metode yang baik dan jelas akan menjadikan ilmu pengetahuan semakin berwarna dan dapat mencerahkan kehidupan dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Latipah, Eva., Metodologi Penelitian. Yogyakarta ( Grass media: 2012)
Hopkins, Davis., Panduan Guru, Penelitian Tindakan Kelas, Terj. Achmad Fawaid, Yogyakarta,(Pustaka Pelajar: 2011)
Azwar, S., Metode Penelitian, Yogyakarta, ( Pustaka Pelajar : 2011)
Farida, penelitian kuantitatif, Diklat teknis subtantif keagamaan angkatan III untuk peneliti dan dosen,Balitbang Kemenag,  Jakarta 26 juli – 5 Agustus 2016.
Murtadlo Muhamad , penelitian kebijakan , Diklat teknis subtantif keagamaan angkatan III untuk peneliti dan dosen,Balitbang Kemenag,  Jakarta 26 juli – 5 Agustus 2016.
Sila Adlin , desain riset etnografis , Diklat teknis subtantif keagamaan angkatan III untuk peneliti dan dosen,Balitbang Kemenag,  Jakarta 26 juli – 5 Agustus 2016.
Fahriati, perkembangan metode penelitian manuskrip, Diklat teknis subtantif keagamaan angkatan III untuk peneliti dan dosen,Balitbang Kemenag,  Jakarta 26 juli – 5 Agustus 2016

NOL-ISASI EGO

NOL-ISASI EGO


REFLEKSI PERKULIAHAN
FILSAFAT PENDIDIKAN
Prof. Dr. Marsigit
NOL-ISASI EGO
Manusia pada dasarnya secara filosofi adalah makhluk yang unik. Tidak hanya pada perilakunya tetapi juga pada pemikirannya. Kenapa in bisa terjadi? Karena manusia memang diberikan banyak sekali kelebihan dibandingkan makhluk lainnya. Salah satunya adalah pemikiran dengan didasarkan pada kemampuan otak yang diberikan.
Salah satu sifat lain manusia yang unik adalah kecenderungan mencari sesuatu yang baru. Keinginan mencari sesuatu hal baru ini seringkali juga menjadikan manusia lupa akan esensi awalnya. Bagi sebagian orang kemudian adalah dianggap penggunaan akal keluar dari kodratnya.
Belajar filsafat tentu tidak terlepas dari ego. Karena sebenar-benar filsafat adalah sebenar-benar pendapatmu dan pemikiranmu. Adanya pemikiran yang berkembang seperti membuat kajian filosofi seolah keluar dari atas dan kemampuan manusia itu sendiri. Karena menganggap bahwa kemampuan manusia adalah tak terbatas. Maka munculnya aliran realisme dalam kontek filsafat yang didasari dari pemikiran aristoteles. Dalam pandangan ini manusia mempunyai hak untuk menentukan. Sebab dasar dari eksistensi adalah, materi tidak ditentukan tetapi mampu untuk menentukan dan itulah yan diseut potensi. Bentuk, atau penyebab formal, yang di dalamnya sesuatu itu dibuat. Bentuk, prinsip aktualitas, merupakan disain yang membentuk dan memberikan struktur ke objek.
Dalam perkembangannya,  Aristoteles melihat bahwa eksistensi sebagai penyatuan dua elemen aktualitas dan potensialitas, bentuk dan materi.  Hal ini lah yang dalam pemahaman barat disebut dengan Dualisme. Manusia dapat dilihat sebagai makhluk ciptaan yang terdiri dari jiwa dan daging atau akal dan materi. Berdasarkan pada dualisme itu, perbedaan dapat dibentuk yang telah menjelaskan konsekuensi penididikan. Pendidikan dapat dipisahkan menjadi teori dan praktik.
Manusia yang benar-benar bertindak seperti manusia biasa adalah seseorang yang diatur oleh kekuatan yang paling kuat dan jelas—nalarnya. Meskipun emosi manusia merupakan alat untuk merasakan kesenangan dan kemauannya merupakan alat untuk mendapatkan, akhirnya emosi dan kemauan diatur secara seksama oleh nalar. Ketika diatur oleh nafsu, emosi, dan kemauan, manusia bertindak secara tidak cerdas dan merendahkan kemanusiaan esensialnya. Ketika diatur oleh nalar, manusia dapat meningkatkan keunggulan karakter moral yang merupakan pertengahan antara ekstrem penindasan dan ekspresi yang tidak dihalangi atau pengikutsertaan nafsu.
Pendidikan disampaikan Aristoteles sebagai alat untuk mencari kebahagiaan (Eudaimonia). Kebahagiaan terbesar manusia adalah unggul dan sempurna dalam segala hal. Hal yang paling penting dari keunggulan adalah menjadi manusia yang benar-benar penyayang, mankhluk yang sejatinya bernalar. Pendidikan membantu manusia dalam mencapai pencariannya untuk menyempurnakan nalarnya. Ketika nalarnya disempurnakan, maka manusia akan menjadi manusia sejati. Menurut posisi Aristotelian, pendidikan selalu menuju ke akhir,menuju kesempurnaan alam manusia. Pendidikan mempunyai fungsi meningkatkan bagian yang terbaik dari alam manusia dan kecakapan yang lebih rendah manusia. Ketika Pendidikan diarahkan pada kesempurnaan pencarian rasional, hal itu mengambil pada dimensi tambahan untuk membantu manusia dalam membentuk masa depan mereka melalui pertimbangan dan perbuatan.
Kecenderungan manusia yang semakin mengunggulkan akal dan pikirannya memang memuat manusia lupa akan tugasnya. Mereka perlu diberikan pemahaman dan atas bahwa untuk membuat manusia sadar akan eksistensinya maka pelu di NOL kan EOnya. Karena ada kekuatan besar di luar dirinya yang Maha segalanya. Dalam konsep islam pun sudah di jelaskan bahwa ada kewajiban manusia di dunia yaitu sebagai hamba/abid dan sebagai khalifa (pemimpin). 
Sebagai hama manusia perlu mengabdi kepada Tuhannya dalam hal ini adalah Allah SWT. Kita diminta selalu taat kepada-Nya. Sebagai hamba maka pelu dijelaskan untuk mencari kedamaian kemakmuran dan manfaat di dunia perlu penalaran. Tetapi nalar dalam tujuan mencapai kebahagiannya ada batasnya dan tidak boleh meningkari kuasa Tuhan.  
Semoga kita selalu patuh dan sadar akan eksistensi kita…. selamat merenung…

Kecerdasan Emosional dalam Pendidikan Islam

Kecerdasan Emosional dalam Pendidikan Islam



Kecerdasan Emosional dalam Pendidikan Islam
Oleh: Hanif Cahyo Adi Kistoro, MA
Dosen UAD Yogyakarta
hanieva_azzaisy@gmail.com
 
ABSTRACT
One important component to be able to live in the midst of the community is the ability to direct the emotions well. Research conducted by Goleman shows that the contribution to the success of one’s IQ is only about 20% of the remaining 80% is determined by the cognate factor called emotional intelligence. In fact now it can be seen that the high IQ is not necessarily successful and not necessarily a happy life. People who are high IQ but because emotionally unstable and irritability are often mistaken in determining and solving the problems of life because they can not concentrate. Emotions are not growing, not overwhelmed, often make change in the face of problems and behave towards others so much conflict. Emotions are less processed also easily lead to others that sometimes are very excited agree on anything, but in a short time changed reject, so that disrupt the agreed cooperation with others. Thus, the man failed.
 
Islamic education has a high attention to this. It can be seen from the Islamic educational task is to guide and direct the growth and human development from stage to stage of life of the students to achieve the optimal performance point. Attention Islamic education on IQ and EI because Islamic education has a major influence in the growth of education, knowledge, and reason.
 
Key words: Emotional Intelligence, Islamic Education
 
A.     PENDAHULUAN
Dasawarsa terakhir ini telah tercatat rentetan laporan yang mencerminkan meningkatnya ketidakseimbangan emosi, meningkatnya angka bunuh diri, peperangan yang terjadi di mana-mana dan rapuhnya moral dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian meningkatnya tindak kekerasan dan kekecewaan, anak-anak yang disingkirkan, disia-siakan, atau diperlakukan dengan kejam, serta hubungan intim yang tak lazim sebagai tindak kekerasan dalam sebuah perkawinan. Meluasnya penyimpangan emosi terlihat juga pada melonjaknya angka tingkat depresi diseluruh dunia dan pada tanda-tanda tumbuhnya gelombang agresivitas
[1] di mana anak-anak berumur belasan tahun memegang senjata-senjata tajam yang di bawa ke sekolah-sekolah, kemudian kecelakaan di jalan bebas hambatan yang berakhir dengan tembak-menembak, serta sekarang lagi mencuat dan selalu diperbincangkan adalah masalah narkoba (narkotika dan obat terlarang).
Fenomena-fenomena tersebut telah memberikan gambaran jelas bahwa manusia pada masa sekarang, seiring dengan semakin majunya teknologi modern telah mengalami berbagai penyimpangan dalam mengarungi roda kehidupan dan mereka mengabaikan salah satu aspek dari kehidupan, yang sebenarnya sangat penting untuk mengatasi segala hal yang dapat menghambat bahkan merusak kehidupan mereka, yaitu adanya kecerdasan (inteligensi). Hal itu bisa terjadi karena dalam diri manusia kecerdasan intelektual bukanlah segalanya.
Di antara banyak konsep mengenai atribut psikologis dalam diri manusia, inteligensi merupakan salah satu konsep yang sulit untuk didefinisikan namun merupakan yang paling populer pula. Semua orang mudah merasa memahami makna inteligensi sebagaimana memahami makna istilah emosi atau kepribadian. Mengapa inteligensi dianggap begitu penting? Sebagaian jawaban terletak pada keyakinan orang bahwa inteligensi  mampu memprediksikan berbagai aspek perilaku manusia.
Para pakar psikologi sebagian mengemukakan definisi tentang inteligensi, diantaranya sebagaimana yang dikemukakan oleh Schindler, yaitu “jika inteligensia atau kecerdasan benar-benar terdiri dari sifat menjadi cerdas, maka ia akan mencakup, disamping hal-hal yang lain, orientasi dan pengatasan emosi secara cerdas pula” (John A.Schindler, 1995 :9).
Batasan-batasan dari para ahli tersebut ternyata banyak selaras dengan konsepsi orang awam. Hal itu ditunjukkan oleh hasil penelitian Robert J. Sternberg yang mencoba melihat bagaimana pengertian orang kebanyakan mengenai inteligensi. Penelitian Sternberg mengambil sampel orang mahasiswa yang belajar di Universitas Yale, 63 orang kebetulan sedang menunggu kereta api di Stasiun New Haven, dan 62 orang yang sedang menunggu berbelanja di sebuah pasar raya. Dalam kesimpulannya Sternberg dan kawan-kawannya menemukan bahwa konsepsi orang awam tentang inteligensi mencakup 3 faktor kemampuan utama, yaitu (a) kemampuan memecahkan masalah-masalah praktis yang berciri utama adanya kemampuan berfikir logis, (b) kemampuan verbal (lisan) yang berciri utama adanya kecakapan berbicara dengan jelas dan lancar, dan (c) kompetensi sosial yang berciri utama adanya kemampuan untuk menerima orang lain sebagaimana adanya (Saifuddin Azwar, 1996 : 9). Adanya berbagai definisi akan inteligensi ini tetap tidak akan mengurangi makna dan maksud dari definisi inteligensi itu sendiri,dan sangat di sayangkan, meskipun pengertian kebanyakan orang akan inteligensi tidak banyak berbeda dari pengertian para ahli psikologi, akan tetapi tidak sedikit orang yang menaruh harapan di luar proporsi yang seharusnya pada inteligensi yang tinggi dan ada pula yang merasa rendah diri dan putus asa dikarenakan hasil tes IQ-nya ternyata tidak sesuai dengan harapan.Mereka yang merasa rendah diri dan putus asa karena ternyata tidak adanya keselarasan antara IQ dengan harapan, kurang memahami maksud dari inteligensi dan mereka kurang memahami pula tentang faktor-faktor apa saja yang terdapat dalam inteligensi itu.
Thurstone misalnya, dia mengemukakan mengenai faktor-faktor dalam inteligensi, yang disebutnya sebagai Primary Mental Abilities meliputi : pengertian verbal (verbal coomprehention); kemampuan penginderaan (perceptual ability); ingatan (memory); penalaran (reasoning); dan kelancaran kata-kata (fluency words). (Saparinah Sadli: 1986 : 82).
Berangkat dari statement bahwasannya seseorang yang memiliki IQ tinggi belum tentu menjamin keberhasilan di sekolah, maka dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku yang dilakukan oleh Goleman, telah memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi gagal dan orang-orang yang ber-IQ sedang-sedang menjadi sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada satu cara lain untuk menjadi cerdas cara yang disebutnya dengan “Kecerdasan Emosional”.
Adanya kecacatan tertentu dalam keterampilan emosi atau sosial akan meletakkan dasar bagi kesulitan-kesulitan yang berat, dan pencegahan serta perbaikan yang terarah baik. Sebagian besar nasehat populer zaman sekarang kepada pendidik mengabaikan dunia emosi tersebut. Sebagai gantinya, nasehat itu mengandalkan teori-teori mengasuh anak yang menangani  kenakalan anak-anak, tetapi mengabaikan perasaan-perasaan yang ada dibalik kenakalan tersebut. Padahal, tujuan terakhir dari kehidupan adalah untuk mencapai kebahagiaan lahir bathin dan sasaran terakhir dari mendidik anak tidak hanya sekedar memiliki seseorang yang patuh dan penurut, tetapi lebih dari itu (John Gottman & Joan De Clare, 1997: Xvi). Kebanyakan para pendidik khususnya guru dan orang tua mengabaikan kebutuhan-kebutuhan yang sebenarnya diperlukan oleh seorang anak. Kebutuhan-kebutuhan anak itu tidak hanya kebutuhan jasmani saja tetapi kebutuhan rohaninya pun perlu diperhatikan. Sebagaimana dikemukakan oleh Law Head (dalam Ramayulis, 1994: 54) bahwa kebutuhan rohani anak meliputi: kasih sayang, rasa aman, penghargaan, belajar, menghubungkan diri dengan dunia yang lebih luas (mengembangkan diri), mengaktualisasikan dirinya sendiri, dan lain-lain.
Dewasa ini, disamping diakui adanya kemungkinan perbedaan genetik dalam emosionalitas, berbagai bukti menunjukkan bahwa kondisi lingkungan juga ikut berpengaruh terhadap perbedaan itu (Elizabet B. Hurlock, 1995: 210). Adanya pandangan yang cukup ekstrim untuk mengatakan bahwa inteligensi merupakan atribut bawaan yang ditentukan oleh faktor-faktor keturunan secara murni maupun yang sebaliknya mengatakan bahwa inteligensi hanya ditentukan oleh faktor lingkungan sebagai hasil belajar semata-mata, merupakan hal yang tidak akan ada solusinya. Karena, baik itu bawaan atau lingkungan, keduanya merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat emosionalitas ataupun inteligensi seseorang. Yang perlu diperhatikan sekarang adalah faktor manakah yang lebih dominan menentukan terjadinya perbedaan inteligensi ataupun emosionalitas seseorang tersebut, apakah faktor bawaan yang diwariskan berdasar keturunan ataukah faktor lingkungan yang dipelajari oleh seseorang?
Terlepas dari faktor manakah yang lebih dominan dalam menentukan terjadinya perbedaan emosional ataupun inteligensi, yang pasti bahwa pendidikan islam mempunyai perhatian yang tinggi akan hal ini. Hal ini dapat dilihat dari tugas pendidikan Islam yaitu membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan manusia dari tahap ke tahap kehidupan anak didik sampai mencapai titik kemampuan yang optimal (Chalijah Hasan,1994: 162). Dapat dikatakan secara tidak langsung, bahwa adanya perhatian pendidikan islam IQ dan EI karena memang pendidikan islam mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan pendidikan, pengetahuan dan akal. Hal ini terlihat dari para filosof muslim yang telah meninggalkan bekas-bekas yang abadi dalam fiqih Islam, mereka telah menulis buku-buku yang terperinci ataupun yang memuat pokok-pokok mengenai mazhab yang empat. Setiap orang yang mengikuti isi karangan-karangan mereka akan mendapati suatu peninggalan berharga dalam bidang syari’at islam, ibadah, muamalah, dan penentuan hubungan-hubungan rohaniyah, masyarakat dan tindak-tanduk antara sesama manusia (M. Atiyah al-Abrasyi, 1984: 30).
Kembali pada sasaran mendidik, yaitu bahwa sasaran akhir dari mendidik anak bukanlah hanya menjadikan anak sebagai yang patuh dan penurut, akan tetapi lebih dari itu yaitu mempertinggi nilai-nilai akhlak karimah (Jalaluddin dan Usman Said,1994: 38). Tujuan tersebut sama dan sebangun dengan target yang terkandung dalam tugas kenabian yang diemban oleh Rasulullah saw yang terungkap dalam pernyataan beliau: ‘Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia’ (H. R. Ahmad Ibnu Hanbab).
Ketika kehidupan keluarga bagi kebanyakan anak bukan lagi merupakan landasan kokoh dalam kehidupan, sekolah merupakan salahsatu tempat dimana masyarakat dapat memperbaiki kekurangan yang dimiliki anak dibidang keterampilan emosi dan pergaulan. Keterampilan emosi menyiratkan lebih diperluasnya lagi tugas sekolah, dengan memikul tanggungjawab atas kegagalan keluarga dalam mensosialisasikan anak. Tugas yang maha berat ini membutuhkan dua perubahan penting, yaitu guru harus melangkah melampaui batas tugas tradisional (asli) mereka,dan masyarakat harus lebih terlibat dengan sekolah.
Terdapat berbagai cara untuk mengaitkan pelajaran emosi kedalam jaringan kehidupan sekolah, diantaranya yang sudah ada adalah dengan cara membantu para guru memikirkan kembali mendisiplinkan murid yang berpereilaku kurang baik. Cara tersebut merupakan lkesempatan baik untuk mengajarkan keterampilan yang tidak dimiliki oleh anak-anak itu. Agar menjadi sangat efektif, pelajaran emosi harus disesuaikan dengan perkembangan anak, dan di ulangi pada usia yang berbeda-beda dengan cara dengan pemahaman serta tantangan anak yang berubah-ubah.
Selain melatih guru, terdapatnya kurukulum yang sudah padat dengan tambahan topik dan agenda baru, sejumlah guru yang bebannya sudah terlalu berat tentu saja tidak mau mengorbankan waktu untuk memberikan pelajaran lain lagi dari awal. Oleh karena itu, strategi yang muncul dalam pendidikan emosi ini adalah bukan menciptakan kelas baru, melainkan memadukan pelajaran tentang perasaan dan kaitannya dengan topik lain yang sudah diajarkan (Daniel Goleman,1999: 386).
Makna sekolah tidaklah semata-mata menyekolahkan anak ke sekolah untuk menimba ilmu pengetahuan, namun lebih luas daripada itu. Seorang anak akan tumbuh dan berkembang dengan baik mankala ia memperoleh pendidikan yang paripurna (komprehensif). Hal ini dimaksudkan tiada lain agar kita kelak menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, bangsa, negara, dan agama. Anak yang demikian adalah anak yang sehat dalam arti luas yaitu sehat fisik, mental-emosional, mental sosial, dan mental spiritual. Pendidikan itu sendiri harus sudah dilakukan sedini mungkin di rumah, formal di institusi-institusi pendidikan, dan non formal di masyarakat (Dadang Hawari, 1997: 156).
Banyaknya orang yang tertarik kepada konsep kecerdasan emosi memang dimulai dari perannya dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, tetapi selanjutnya orang menyadari pentingnya konsep ini baik di lapangan kerja maupun hampir di semua tempat yang mengharuskan manusia saling berhubungan.
 
B.  KAJIAN TEORI

1.      Pengertian dan Ciri-ciri Kecerdasan Emosi
Kondisi-kondisi yang mendasari emosi menurut Dadang Sulaeman (1995: 51) meliputi tiga hal yaitu: perasaan, misalnya perasaan takut; impulse atau dorongan, misalnya dorongan untuk melarikan diri; dan persepsi atau pengamatan tentang apa yang membangkitkan emosi.
Semua emosi pada dasarnya merupakan dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi (Daniel Goleman, 1999: 7). Demikian juga dikemukakan Royce James E. (dalam M. Arifin, 1976: 223) bahwa emosi dapat menimbulkan dorongan-dorongan seperti:
a.   Sentimen, yaitu suatu kelompok dorongan emosional terhadap suatu obyek kebendaan atau manusia. Sentimen tersebut bisa berlangsung lama atau singkat tergantung watak pribadi seseorang.
b.    
Feeling atau merasakan sesuatu yaitu merasakan keadaan yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.
c.    
Mood atau perasaan yang sedang meluap yang biasanya berlangsung lebih lama dan acute daripada sentimen.
d.   
Temprament ialah suatu watak asli manusia yang berhubungandengan perasaan, sedang dengan watak tersebut manusia dapat diketahui tipe atau karakternya.
e.    
Affek perasaan yang tegang dalam hidup kejiwaannya, seperti marah, terkejut, cinta atau benci yang berlebih-lebihan, dan sebagainya.
Menurut El-Quissy, biasanya dorongan-dorongan untuk kelakuan itu tidak tetap dalam bentuk yang asli, akan tetapi menjadi berubah dan tersusun, sehingga terjadilah apa yang dinamakan emosi (Abdul ‘Aziz El-Quissy,1974: 130). Kemudian W. Cannon (dalam Malcolm Hardy dan Steve Heyes, 1988: 162) menambahkan bahwa perubahan pada badan, yang terjadi selama emosi yang kuat, sangat penting didalam memastikan bahwa seseorang mampu mengatasi keadaan, namun perasaan emosi tersebut benar-benar merupakan hasil dari interpretasi otak mengenai apa  yang berlangsung dilingkungannya.
Berangkat dari kerangka dasar tentang emosi, sebuah teori yang komprehensif tentang emosi kaitannya dengan kecerdasan emosi yang dikemukakan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog, Peter Solovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire, mereka mula-mula mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilah-memilah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan (Lawrence E. Saphiro, 1998: 8). Robert K. Cooper (1999:1) menjelaskan:
 
EMOTIONAL INTELLIGENCE is the ability to sense, understand and effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human energy, information and influence. Emotional intelligence emerges not from the musings of rarefied intellect,but from the workings of the human heart.
[2] Selanjutnya Goleman (1999: 45) juga mengemukakan tentang kecerdasan emosi ini, yaitu kemampuan seperti kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berfikir, berempati dan berdo’a.
Demikian definisi kecerdasan emosi menurut beberapa pakar. Kecerdasan emosi ini memang merupakan istilah yang relatif baru, namun isi daripada istilah  kesadaran diri, kontrol diri, ketekunan, semangat, motivasi diri, empati, dan kecakapan sosial sebagai dasar-dasar dari kecerdasan emosi merupakan istilah lama, yang pada essensinya emosi yang ada dalam dirinya sehingga ekses dari sikap ini, seseorang dapat dewasa dalam emosi (kecerdasan emosi).
Dalam mengemban tugas sebagai ‘Kholifah di muka bumi’, manusia telah dibekali dengan berbagai emosi oleh Allah swt, sehingga manusia dapat survive dalam kehidupannya. Al-Qur’an telah menguraikan secara detail mengenai berbagai emosi tersebut, di antaranya: Emosi takut (Q.S. 28:21),Emosi marah (Q.S. 7:150), Emosi gembira (Q.S. 13:26), Emosi benci (Q.S. 4:19), Emosi Cinta (Q.S. 3:14), Emosi Cemburu (Q.S. 12:8-9), Emosi sedih (Q.S. 20:40), Emosi dengki (Q.S. 2: 109), Emosi penyesalan (Q.S. 5:30-31), dan ayat-ayat emosi lainnya.
Emosi-emosi tersebut apabila dikembangkan ke arah yang lebih luas, dapat membawa kearah positif dan negatif. Prawitasari (dalam Adiyanti, 1997: 2) mengemukakan bahwa dalam pengertian umum, emosi sering dikonotasikan sebagai suatu yang negatif atau bahkan pada beberapa budaya, emosi dikaitkan dengan marah. Padahal tidak demikian halnya, emosi-emosi tersebut apabila diarahkan kepada yang baik, maka ia akan baik pula, bahkan berkat penelitian para pakar psikologi, terdapat sejumlah keterampilan-keterampilan bagaimana agar seseorang memiliki kecerdasan emosi. Ini artinya bagaimana agar seseorang itu memiliki kecerdasan emosi yang tinggi sehingga ia dapat memperoleh kebahagiaan dalam hidupnya. Sebagaimana dilansir dalam buku Emotional Intelligence karya Daniel Goleman bahwa kecerdasan emosi merupakan salahsatu jaminan kesuksesan dan kebahagian seseorang dalam hidupnya, menguasai pikiran yang mendorong produktivitas mereka, orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya, akan mengalami pertarungan batin yang merampas kehidupan seseorang untuk memusatkan perhatian pada pekerjaan dan memiliki pikiran yang jernih.
Terdapat beberapa kecerdasan emosi yang telah dikemukakan oleh para ahli. Gardner misalnya, ia mengemukakan kecerdasan emosi sebagai kecerdasan pribadi, kemudian Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner ini dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosi yang dicetuskannya seraya memperluas kemampuan ini menjadi 5 wilayah utama:
a.  Mengenali emosi diri. Kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Pengenalan  diri berurusan dengan suatu aspek lain dari wujud seseorang. Ia tidak berhubungan dengan pengertian fisik, melainkan berurusan dengan dimensi rohani dari kehidupan seseorang, demikian dikatakan Shomali. Dan dia mengatakan terdapat beberapa manfaat dari mengenali diri ini, yaitu: (Mohammad Ali Shomali, 2000:26)
1) Mengetahui kemampuan diri dan keterbatasan, sehingga ia dapat menghindari kesombongan egosentris dan kurangnya penilaian diri yang dapat menimbulkan putus asa.
2)  Dapat menyadari nilai intrinsiknya dan kehampaan nilai hawa nafsunya sendiri.
3)  Memahami bahwa wujud seseorang terdiri dari dua bagian, yaitu jasad dan roh.
4)  Memahami bahwa manusia bukanlah sekedar suatu produk kebetulan, melainkan bahwa setiap orang tercipta untuk suatu tujuan dan konsekuensinya.
5)  Dapat mengantarkan kepada suatu penilaian yang lebih mendalam tentang peran kesadaran dalam perbaikan diri.
6)  Mengenali diri merupakan pintu gerbang kewilayah ‘malakut’
b. Mengelola emosi. Menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas adalah kecakapan yang bergantung pada kesadaran diri. Dengan kata lain kemampuan untuk menghadapi badai emosional yang dibawa oleh sang nasib dan bukannya menjadi budak nafsu.
c.  Memotivasi diri sendiri. Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi.
d.   Mengenali emosi orang lain. Empati yang juga bergantung kepada kesadaran diri emosional, merupakan “ keterampilan bergaul” dasar. Terdapat dua komponen empati (Lawrence E. Shapiro, 1998:50) yaitu: reaksi emosi kepada orang lain yang normalnya berkembang dalam enam tahun pertama kehidupan anak dan reaksi kognitif yang menentukan sampai sejauh mana anak- anak ketika sudah lebih besar mampu memandang sesuatu dari sudut pandang atau perspektif orang lain.
e.  Membina hubungan (keterampilan sosial). Seni membina hubungan, sebagaian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Membina hubungan dengan orang lain dapat diajarkan, misalnya saja dengan bercakap-cakap yang meliputi berbagai informasi pribadi, mengajukan pertanyaan kepada orang-orang, mengekspresikan minat dan mengekspresikan penerimaan (Lawrence E. Shapiro, 1998: 177).
Kemampuan-kemampuan yang dikemukakan Salovey tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh Goleman, yang telah mengadaptasi model kecerdasan emosi kedalam sebuah versi yang menurutnya paling bermanfaat untuk memahami cara kerja bakat-bakat ini dalam kehidupan kerja.
Demikianlah sumbangsih pemikiran tentang ciri-ciri kecerdasan emosi yang akan tetap terus berlanjut sesuai dengan hasil pergeseran ide-ide yang berkaitan dengan konsep tersebut. Meskipun tidak menutup kemungkinan akan muncul konsep-konsep baru tentang ciri-ciri kecerdasan emosi, akan tetapi  dapat peneliti kemukakan bhwa sebenarnya kemampuan paling penting dari ciri-ciri kecerdasan emosi ini adalah adanya kecerdasan pribadi, karena memungkinkan seseorang melatih self-control (pengendalian diri). Kecerdasan pribadi ini merupakan kemampuan yang korelatif, tetapi terarah kedalam diri.

2.   Peranan Emotional Intelligence (EI) terhadap Intelligence Quotient (IQ)
Seberapa besarkah peranan EI terhadap IQ? Untuk menjawab pertanyaan ini, peneliti akan deskripsikan terlebih dahulu, bagaimana relevansi/ketertarikan EI terhadap IQ. Emotional Intellgence (EI) dan Intelligence Quotient (IQ) keduanya merupakan tipe murni, artinya antara keduanya bukanlah keterampilan-keterampilan yang saling bertentangan, melainkan keterampilan-keterampilan yang sedikit terpisah. Memang IQ tidak ada kaitan langsung dengan EI, di mana IQ merupakan bawaan, sedangkan EI merupakan proses, dengan kata lain EI ini dapat dipelajari. Shapiro mengatakan bahwa keterampilan EI bukanlah lawan dari keterampilan-keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata (Lawrence E. Saphiro, 1998: 9). Jadi secara idealnya, seseorang dapat menguasai keterampilan kognitif sekaligus keterampilan sosial-emosional, sebagaimana diungkapkan Schilinder, dalam “Bagaimana Menikmati Hidup Dalam 365 Hari” bahwa yang dikatakan cerdas yang sebenar-benar cerdas adalah seimbangnya kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri serta dalam hubungan dengan orang lain (D. Goleman, 1999: 512). Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda, tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ. Banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak memiliki kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang ber-IQ lebih rendah tetapi unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perbedaan yang paling penting antara IQ dan EI adalah bahwa EI tidak begitu dipengaruhi oleh faktor  keturunan, sehingga membuka kesempatan bagi orang tua dan pendidik untuk melanjutkan apa yang sudah disediakan oleh alam agar anak mempunyai peluang lebih besar untuk meraih keberhasilan.
Goleman telah memberikan gambaran-gambaran antar pria dan wanita yang ber-IQ tinggi dan pria dan wanita yang ber-EI tinggi. Menurutnya, pria yang ber-IQ tinggi bercirikan: memiliki kemampuan dan minat intelektual yang tinggi; penuh ambisi dan produktif, dapat diramalkan dan tekun; tidak dirisaukan oleh urusan-urusan tentang dirinya sendiri; cenderung bersikap kritis dan meremehkan; pilih-pilih dan malu-malu; kurang menikmati seksualitas dan pengalaman sensual; kurang ekpresif dan menjaga jarak; dan secara emosional membosankan dan dingin. Sebaliknya pria dengan ber-EI tinggi bercirikan: secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka, tidak mudah takut dan gelisah; berkemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang-orang atau permasalahan, untuk memikul tanggung jawab dan mempunyai pandangan moral; simpatik dan hangat dalam hubungan-hubungannya.
Adapun wanita yang ber-IQ tinggi bercirikan: mempunyai keyakinan intelektual yang tinggi, lancar mengungkapkan gagasan, menghargai masalah-masalah intelektual, dan mempunyai minat intelektual dan estetika yang amat luas; cenderung mawas diri, mudah cemas, gelisah dan merasa bersalah dan ragu-ragu untuk mengungkapkan kemarahan secara terbuka. Sebaliknya wanita yang cerdas secara emosional cenderung bersikap tegas dan mengungkapkan perasaan mereka secara langsung, memandang dirinya secara positif, kehidupan memberi makna bagi mereka; mudah bergaul dan ramah serta mengungkapkan perasaan mereka dengan takaran yang wajar; mampu menyesuaikan diri dengan beban stres; kemantapan pergaulan mereka mudah menerima orang-orang baru: mereka cukup nyaman dengan dirinya sendiri sehingga selalu ceria, spontan dan terbuka terhadap pengalaman sensual; jarang merasa cemas atau bersalah atau tenggelam dalam kemurungan (Daniel Goleman, 1999: 60).
Sebagaimana dikemukakan di atas, bahwa antara IQ dan EI tidaklah saling bertentangan, akan tetapi saling berkaitan. Gambaran-gambaran di atas tidak mungkin dimiliki oleh seseorang yang ber-IQ tinggi an sich, tidak pula oleh seseorang dengan kadar-kadar yang berbeda-beda. Jelaslah bahwa di antara keduanya, kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat yang membuat seseorang menjadi lebih manusiawi.

C.     HASIL DAN BAHASAN
1.      Hakikat Pendidikan Islam
Untuk mengantarkan pada pemahaman akan hakekat pendidikan Islam, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dari pendidikan itu sendiri. Pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Sudirman, diartikan sebagai usaha yang dijalankan oleh seseorang atau sekelompok orang agar menjadi dewasa atau mencapai tingkat hidup dan pengidupan yang lebih tinggi dalam arti mental. (dalam Ramayulis, 1994:1)Dengan kata lain bahwapendidikan adalah bantuan pendidik untuk membantu subyek didik menuju dewasa. Jika anak didik telah memperoleh kedewasaan, yakni kemampuan untuk menetapkan pilihan dan mempertanggungjawabkan perbuatan dan tingkah laku secara mandiri, maka pendidikan dianggap telah berhasil.
Hasan Langgulung (1992: 3) mengemukakan bahwa untuk mengartikan pendidikan ini bisa ditinjau dari dua sudut pandang, yaitu dari sudut pandang masyarakat dan sudut pandang individu. Dari sudut pandang masyarakat pendidikan dipandang sebagai proses sosialisasi, yaitu pewarisan kebudayaan, penyampaian pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai moral yang telah dimiliki oleh generasi dewasa kepada generasi yang belum dewasa. Sedang menurut sudut pandang individu, pendidikan diartikan sebagai proses perkembangan, yaitu upaya mengembangkan potensi dasar yang dimiliki yang masih tersembunyi. Menurut Arifin potensi dasar yang dimiliki manusia meliputi: keimanan/keyakinan, ilmu pengetahuan, akhlaq (moralitas) dan pengalaman.
[3]Dalam konferensi pendidikan Islam pertama (First World Conference on Muslim Education) yang di selenggarakan oleh Universitas King Abdul Aziz, JeddaH, Pada tahun 1977 (Ahmad Tafsir, 1994 : 28) pernah dibahas mengenai definisi pendidikan islam ini, dan ternyata perumusan yang jelas mengenai pendidikan islam ini belum berhasil, kemudian dalam rekomendasi konferensi tersebut, para peserta hanya membuat kesimpulan bahwa pengertian pendidikan menurut islam ialah keseluruhan pengertian yang terkadang dalam istilah ta’lim, tarbiyahdan ta’dib.
Menurut Abdullah Fattah Jalal (1988, dalam Ahmad Tafsir, 1994: 30), proses ta’lim justru lebih luas dan universal dibandingkan dengan proses al-tarbiyah. Ta’lim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriyah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Ta’lim mencakup juga teoritis, mengulang kaji secara lisan dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Disamping itu ta’lim mencakup pula aspek-aspek pengetahuan lainnya serta keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta pedoman berperilaku. Sementara dalam masalah tarbiyah, menurut  Naquib al-Atas (dalam Ramayulis,1994:2) secara sistemantik tidak ditujukan untuk mendidik manusia, tetapi dapat dipakai kepada spesies lain, seperti mineral,tanaman dan hewan. Selain itu tarbiyah berkonotasi material, ia mengandung arti mengasuh, menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membuat, menjadikan bertambah pertumbuhan, membesarkan, memproduksi hasil-hasil yang sudah matang dan menjinakkan adapun ta’dib, menurutnya mengacu pada pengertian (‘ilm), pengajaran dan pengasuhan yang baik. Nampaknya, Naquib melihat ta’dib sebagai sebuah sistem pendidikan Islam yang didalamnya mencakup tiga sistem, yaitu pengetahuan, pengajaran, dan pengasuhan (tarbiyah), dan menurutnya, inilah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan pendidikan dalam Islam.
Jusuf Amir Feisel mengungkapkan bahwa pengertian pendidikan Islam dari segi etimologi diwakili oleh istilah taklim dan tarbiyah yang berasal dari kata’allama dan rabba sebagaimana digunakan dalam al-Qur’an. Kemudian Feisel (1995: 94) mengutip dari apa yang dikemukakan oleh al Attas mengemukakan istilah lainnya untuk pendidikan yaitu kata ta’dib, yang ada hubungannya dengan kata adab (susunan). Menurutnya, mendidik adalah membentuk manusia untuk menempati tempatnya yang tepat dalam susunan masyarakat serta berperilaku secara proporsional sesuai dengan susunan ilmu dan teknologi yang dikuasainya. Dalam hal ini pendidik harus mampu menyampaikan setiap ilmu atau hubungan ilmu yang lain dalam satu susunan yang sistemik dan harus disampaikan sesuai dengan susunan kemampuan dasar yang dimiliki peserta didik. Kemudian melalui teknologi dan keterampilan tertentu, ilmu itu diaplikasikan dalam suatu keteraturan perangkat sistem sehingga memungkinkan untuk menjadi alat yang ampuh bagi kehidupan manusia dalam membentuk dan mengembangkan masyarakatnya serta budayanya dalam suatu kontinuitas yang terus menerus berproses menuju tingkat kesempurnaan tertentu.
Berdasarkan hasil rumusan pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 di Cipayung, Bogor (Arifin, 1993:14) bahwa pendidikan islam diartikan sebagai bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan, melatih, mengasuh, dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam.
Dengan melihat pada berbagai definisi tentang pendidikan Islam ini, jelaslah bahwa pendidikan Islam merupakan proses membimbing dan mengarahkan pertumbuhan perkembangan anak didik agar  menjadi manusia dewasa sesuai dengan tujuan pendidikan islam. Proses tersebut senantiasa harus berada pada nilai-nilai islam, yaitu nilai-nilai yang melahirkan norma-norma syart’ah dan akhlak al-karimah.
2.   Dasar, Obyek, dan Tujuan Pendidikan Islam
Sebagai aktifitas yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pembinaan kepribadian, tentunya pendidikan Islam memerlukan landasan kerja untuk memberi arah bagi progamnya. Sebab dengan adanya dasar juga berfungsi sebagai sumber semua peraturan yang akan diciptakan sebagai pegangan langkah pelaksanaan dan sebagai jalur langkah yang menentukan arah usaha tersebut.
Dalam pendidikan Islam, dasar yang menjadi acuan merupakan nilai kebenaran dan kekuatan yang dapat menghantarkan pada cita-cita yang didambakan, cita-cita kemanusiaan, artinya, pendidikan Islam yang sangat memperhatikan penataan individual dan sosial diharapkan membawa manusia pada pengaplikasian Islam secara koprehensif. Berdasarkan ini, maka tak dapat disangsikan lagi bahwa dasar pendidikan Islam adalah sumber utama Islam itu sendiri, yaitu al-Qur’an dan Sunnah (an-Nahlawi, 1995:28). Terdapat beberapa alasan mengapa Qur’an dan sunnah yang dijadikan dasar dalam pendidikan islam, menurut Zuhairini (1995:154) dikarenakan:
a.   Bahwa al-Qur’an diturunkan kepada umat manusia untuk memberi petunjuk kearah jalan hidup yang lurus, dalam arti memberi bimbingan dan petunjuk ke arah jalan yang diridloi Allah SWT.[4]
b.    Menurut hadis Nabi, bahwa di antara sifat orang mukmin ialah saling menasihati untuk mengajarkan ajaran Allah,yang dapat diformulasikan sebagai usaha atau dalam bentuk pendidikan Islam.[5]
c.   Al-Qur’an dan hadis menerangkan bahwa Nabi adalah benar-benar pemberi petunjuk kepada jalan yang lurus, sehingga beliau memerintahkan kepada ummat-Nya agar saling memberi petunjuk, bimbingan, penyuluhan dan pendidikan Islam.
Ramayulis (1994:15) menambahkan bahwa yang menjadi dasar pendidikan Islam yang lainnya adalah sikap dan perbuatan para sahabat. Hal ini berpijak pada sebuah ayat, yaitu (Q. S. 9:100), yang berarti: ‘Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai dibawahnya, mereka kekal didalamnya. Itulah kemenangan yang besar’.
Selanjutnya yang menjadi dasar pendidikan Islam menurut Ramayulis adalah ijtihad. Ijtihad merupakan jalan yang dilalui dengan memberikan semua daya dan kesungguhan yang diwujudkan oleh akal melalui ijma’, qiyas, istihsan dengan zhan (mendekati keyakinan) untuk mengistinbathkan hukum daripada dalil-dalil al-Qur’an dan Sunnah untuk menentukan batas yang dikehendakinya. Dengan kata lain ijtihad merupakan penggunaan akal fikiran oleh fuqaha-fuqaha Islam untuk menetapkan suatu hukum yang belum ada ketetapannya dalam Qur’an dan hadis dengan syarat-syarat tertentu (Ramayulis, 1994:18).
Ijtihad dalam pendidikan harus tetap bersumber dari Qur’an dan Sunnah yang diolah oleh akal yang sehat dari para ahli pendidikan Islam. Ijtihad haruslah dalam hal-hal yang berhubungan langsung dengan kebutuhan hidup di suatu tempat pada kondisi dan situasi tertentu (Zakiah Daradjat, 1988:19).
Dengan demikian untuk melengkapi dan merealisir ajaran Islam memang sangat dibutuhkan ijtihad, sebab globalisasi dari Qur’an dan Sunnah belum menjamin tujuan pendidikan islam akan tercapai.
Pembahasan tentang ilmu pendidikan tidak mungkin terbebaskan dari obyek yang menjadi sasarannya, yaitu manusia. Sejalan dengan misi agama Islam yang bertujuan memberikan rahmat bagi sekalian makhluk di alam ini, maka pendidikan Islam mengidentifikasikan sasarannya yang digali dari sumber ajaran al-Qur’an. Muhammad Fadhi Al Jamaly mengungkapkan beberapa perkembangan fungsi manusia, yaitu:
a.  Menyadarkan manusia secara individual pada posisi dan fungsinya di tengah makhluk lain, serta tentang tanggung jawab dalam kehidupannya. Dengan kesadaran ini, manusia akan mampu berperan sebagai makhluk Allah yang paling utama diantara makhluk-makhluk lainnya sehingga mampu berfungsi sebagai khalifah dimuka bumi ini, bahkan malaikatpun pernah bersujud kepadanya, karena manusia sedikit lebih tinggi kejadiaannya dari malikat, yang hanya terdiri dari unsur-unsur rohaniah, yaitu Nur Ilahi, sedang manusia terdiri dari perpaduan unsur-unsur rohani dan jasmani. Allah menunjukan kedudukan manusia tersebut dalam Q.S. Shad: 71-72.
b. Menyadarkan fungsi manusia dalam hubungannya dengan masyarakat, serta tanggung jawabnya terhadap ketertiban masyarakat. Karenanya manusia harus mengadakan interrelasi dan interaksi dengan sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat. Prinsip hidup bermasyarakat ini sebagaimana diterangkan dalam al-Qur’an (Q.S. Al-Anbiya: 92, Q.S. Ali Imran:103,Q.S. Al-Hujurat:10 dan Q.S. Ar-Rum: 22).
c.  Menyadarkan manusia terhadap pencipta alam dan mendorongnya untuk beribadah kepada-Nya. Karenanya manusia sebagai makhluk divinans (makhluk yang berketuhanan), sikap dan watak religiusitasnya perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu menjiwai dan mewarnai kehidupannya.
d. Menyadarkan manusia tentang kedudukannya terhadap makhluk lain dan membawanya agar memahami hikmah Tuhan menciptakan makhluk lain, serta memberikan kemungkinan kepada manusia untuk mengambil manfaatnya.
Dengan kesadaran demikian, manusia sebagai khalifah di muka bumi dan yang terbaik di antara makhluk lain, akan mendorong untuk melakukan pengelolaan, mengeksploitasikan, dan mendayagunakan ciptaan Allah untuk kesejahteraan yang diperolehnya akan digunakan sebagai sarana untuk mencapai kebahagian hidup di akhirat.
Sasaran pendidikan Islam adalah berusaha membentuk perilaku manusia menjadi perilaku kesadaran, baik dalam perlilaku individu maupun sosial sehingga hidupnya mempunyai ‘makna’dalam hidup dan kehidupan ini secara luas (Abdurrahman an-Nahlawi, 1995: 116). Disamping itu, ada juga yang mengemukakan bahwa yang menjadi sasaran pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai berikut: Pertama, sasaran individual, yang berkaitan dengan pembinaan individu yang utuh dan meliputi semua aspek kepribadiannya. Kedua, sasaran sosial, yang berkaitan dengan posisi manusia sebagai makhluk sosial yang memungkinkan baginya untuk selalu mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamanya untuk kepentingan kemaslahatan manusia dan kehidupannya. Ketiga, Sasaran-sasaran yang berkaitan dengan peradaban. Hal ini sejalan dengan konsepsi tentang manusia sebagai makhluk pencipta peradaban karena kelebihan-kelebihan yang dimilikinya. Karenanya pendidikan yang mampu menciptakan manusia yang dapat memahami dan menyadari realitas, amatlah dibutuhkan.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa sasaran pendidikan Islam mewarnai segenap aspek kehidupan manusia, dan hal ini sejalan dengan universalitas islam itu sendiri sebagai agama untuk sekalian alam.
Tujuan merupakan sesuatu yang diharapkan tercapai setelah usaha atau kegiatan selesai (Zakiah Daradjat, 1988:23). Maka pendidikan, karena merupakan suatu usaha dan kegiatan yang berproses melalui tahap-tahap dan tingkatan-tingkatan, tujuannyapun bertahap dan bertingkat. Tujuan pendidikan bukanlah suatu benda yang tetap dan statis, tetapi ia merupakan suatu keseluruhan dari kepribadian seseorang, berkenaan dengan semua aspek kehidupannya.
Dalam pendidikan nasional terdapat berbagai tujuan, di antaranya:
a.  Tujuan umum, yang harus disesuaikan dengan tujuan pendidikan nasional dengan negara tempat pendidikan islam itu dilaksanakan dan dengan tujuan institusional lembaga yang menyelenggarakan pendidikan (Arifin, 1996: 39), serta dengan pandangan hidup yang diyakini kebenarannya oleh peyusun tujuan tersebut, dan pandangan hidup ini berupa agama atau aliran filsafat tertentu (Ramayulis, 1994:24).
b. Tujuan akhir, hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. 3: 102, yang berbunyi: ‘Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam’. Dari ayat tersebut diungkapkan bahwa jangan sampai seseorang mati, kecuali dalam beragama Islam. Karena mati dalam berserah diri kepada Allah sebagai muslim, merupakan ujung dari taqwa sebagai akhir dari proses hidup jelas yang berisi dengan kegiatan pendidikan.
c.  Tujuan sementara, tujuan ini merupakan tempat-tempat perhentian sementara pada jalan yang menuju ketujuan umum. Misalnya seorang pendidik mengajar muridnya tentang rumus tersebut, maka murid itu dianggap sudah menguasainya, sehingga tercapai tujuan sementara ini (Ngalim Purwanto, 1994: 22).
d. Tujuan operasional, yaitu tujuan praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu. Dalam tujuan ini lebih banyak dituntut dari anak didik suatu kemampuan dan keterampilan tertentu. Sifat operasionalnya lebih ditonjolkan dari sifat penghayatan dan kepribadian (Zakiah Daradjat, 1988:20).
e.  Tujuan khusus. Mengenai tujuan khusus ini terdapat berbagai pendapat, di antaranya adalah menurut Abdullah Fayed (dalam Ramayulis, 1996:27). Menurutnya tujuan pendidikan Islam adalah untuk persiapan kehidupan akhirat serta membentuk perorangan dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk menunjang kesukseannya hidup di dunia. Selanjutnya Al-Ghazali (dalam Ramayulis,1996: 26) menambahkan bahwa tujuan utama dari pendidikan Islam adalah beribadah dan taqarrub kepada Allah, dan kesempurnaan insani yang tujuannya kebahagiaan dunia akhirat.
Apabila dianalisa secara seksama sebenarnya tujuan umum pendidikan Islam dan tujuan pendidikan nasional di Indonesia pada hakekatnya tidak bertentangan bahkan mempunyai titik persamaan, apabila pendidikan nasional diletakkan secara proporsional dalam rangka pendidikan nasional, maka pendidikan Islam dapat menciptakan insan yang beriman dan bertaqwa sebagaimana termaktub dalam tujuan pendidikan nasional, dan sekaligus berarti mendidik insan Pancasila dan insan yang beragama. 
Selain berbagai definisi di atas sebenarnya masih banyak lagi rumusan tentang tujuan pendidikan Islam ini, ungkapan-ungkapan yang berbeda dari segi redaksi sesungguhnya memiliki essensi makna yang sama. Al-Attasmisalnya, menghendaki tujuan pendidikan Islam adalah menjadi manusia yang baik. Muhammad Munir Mursyimenyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah agar terwujud  manusia sebagai hamba Allah
[6]. Kemudian Muhammad Qutbmerumuskan tujuan pendidikan Islam sebagai pembentukan manusia yang bertaqwa (Ahmad Tafsir, 1994:46, 48).
Dengan demikian jelaslah bahwa tujuan pendidikan Islam selalu terkait dengan masalah nilai-nilai ajaran Islam itu sendiri. Karenanya realisasi nilai-nilai itulah yang pada hakikatnya menjadi dasar dan tujuan pendidikan Islam.

3.    Posisi dan Peranan Kecerdasan Emosi dalam Pendidikan Islam
Kecerdasan emosi tidaklah muncul dari pemikiran intelektual yang jernih tetapi merupakan hasil dari perbuatan hati manusia. Kecerdasan emosi bukanlah trik-trik penjualan atau cara menata sebuah ruangan. Kecerdasan emosi bukan pula tentang memakai topeng kemunafikan atau penggunaan psikologi untuk mengendalikan, mengeksploitasikan atau memanipulasi seseorang.
Kecerdasan emosi memiliki peranan yang tinggi dalam membesarkan dan mendidik anak-anak, hingga menyadarkan akan arti penting konsep ini, baik di lapangan kerja maupun di seluruh sektor kehidupan, baik dalam keluarga, sekolah maupun kehidupan bermasyarakat yang menuntut manusia untuk saling berhubungan.
Posisi kecerdasan emosi dalam pendidikan Islam dapat terlihat dari taksonomi tujuan-tujuan pendidikan Islam, yaitu bahwa ada dua tujuan pendidikan Islam (Arifin, 1996: 230), yaitu:
a.   Tujuan yang menitikberatkan kekuatan jasmaniah (al-ahdaful jasmaniah), di mana tujuan ini dikaitkan dengan tugas manusia selaku ”khalifah” di muka bumi yang harus memiliki kemampuan jasmaniah yang tinggi, disamping rohaniah yang teguh.
b.  Tujuan yang menitikberatkan pada kekuatan rohaniah (al-ahdaful rohaniah), di mana tujuan ini berkaitan dengan kemampuan manusia menerima agama Islam.
Dari perumusan tujuan rohaniah (spiritual) ini manusia menjadi sasaran pendidikan Islam dilihat dari segi kehidupan individual dan segi kehidupan sosial selaku anggota masyarakat. Di sinilah nampak dengan jelas posisi kecerdasan emosi dalam pendidikan Islam. Sebagaimana dilansir dalam pembahasan sebelumnya, bahwa salah satu ciri kecerdasan emosi adalah dimilikinya seni membina hubungan. Hal ini selaras dengan tujuan pendidikan Islam yang menitikberatkan pada kekuatan rohaniah di mana manusia menjadi sasaran pendidikan Islam dilihat dari segi kehidupan individual dan sosial selaku anggota masyarakat.
Selanjutnya mengenai peranan kecerdasan emosi dalam pendidikan Islam, sebagaimana diungkapkan di muka, bahwasannya kecerdasan emosi memiliki peranan yang sangat besar  dalam membesarkan dan mendidik anak-anak. Tentunya pendidikan Islam di sini memiliki kepentingan secara menyeluruh, bagaimana mengupayakan agar manusia dapat mewujudkan penanaman nilai-nilai ketaqwaan dan akhlak serta menegakkan kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berbudi luhur menuju ajaran Islam, kemudian bagaimana pula sikap dan reaksi dalam berinteraksi dengan lingkungannya sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yang mengupayakan perwujudan manusia kaffah.

4.      Implikasi Kecerdasan Emosi Terhadap Keberhasilan Pendidikan Islam
Sesuatu akan berimplikasi terhadap sesuatu yang lainnya apabila antara keduannya terdapat saling keterkaitan. Di sini kecerdasan emosi memiliki keterkaitan dengan pendidikan Islam, yaitu berupa pengaruh kecerdasan emosi  itu sendiri terhadap keberhasilan pendidikan Islam.
Pembahasan mengenai implikasi-implikasi yang ditimbulkan dari kecerdasan emosi ini mempengaruhi penyesuaian pribadi dan sosial seseorang. Pendidikan yang menuntut adanya penyesuaian diri agar seseorang “dewasa” dalam menyikapi lingkungannya, maka emosi setidak-tidaknya menambah rasa nikmat dengan adanya pengalaman sehari-hari.
Reaksi-reaksi yang dihasilkan dari interaksi diri dengan lingkungan sosialnya, emosi tentu akan menyiapkan tubuh untuk melakukan tindakan-tindakan yang sekiranya dapat dijadikan penyesuaian dirinya. Kalau sekiranya emosi seseorang dalam kondisi  tidak stabil, tidak menutup kemungkinan dari ketegangan emosi akan mengganggu keterampilan motorik dan aktivitas mental serta suasana psikologis seseorang, dan hal ini jelas akan mengganggu hasil dari interaksi sosialnya. 
 
 
 DAFTAR PUSTAKA
 Abdul ‘aziz el-quissy. Pokok-pokok Kesehatan Jiwa/Mental (alih bahasa Zakiah Daradjat). Jakarta: Bulan Bintang,tt.
Abdurrahman An-Nahlawi. Pendidikan Islam di rumah, sekolah dan masyarkat (terjemah sihabuddin). Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Adiyani M. G., Peran Emosi dalam Kehidupan Manusia. Yogyakarta: Kongres VII ISPI, 1997.
Ahmad Tafsir. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: Rosdakarya, 1994.
Al-Ghazali. Teosofia Al-Quran (terjemah M. Luqman Hakim, dkk). Surabaya: Risalah Gusti,1996.
Ali Syari’ati.  Humanisme antara Islam dan Madzhab Barat. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Al-Qusyairy An-Naisyaburi. Risalatul Qusyairiyah-Induk Ilmu Tasawuf (terjemah muhammad luqman hakim). Surabaya: Risalah Gusti,1997.
Rahmat Aziz. Hubungan antara kecerdasan emosional dengan penyesuaian diri dan kecenderungan berperilaku delinkuen pada remaja. Tesis. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Program Pasca Sarjana UGM, 1999.
Rugwan Albaar. Pendekatan Konseling Rasional Emotif dalam Menangani Kasus Melengahkan Kewajiban Beragama di Kelurahan Ampel, Kotamadya Surabaya. Tesis. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1998.
Suswandiono. Pengaruh bimbingan dan penyuluhan agama dalam mengatasi gangguan emosi yang kurang mampu pengendalian diri pada keluruhan kebroan. Skripsi. Surabaya: Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, 1992
[1] Agresivitas merupakan kecenderungan (keinginan) menyerang kepada sesuatu yang dipandang sebagai sesuatu yang mengecewakan, menghalangi atau menghambat. Lih.Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud: 1997) hal. 12. 
[2] Penulisan ini sesuai dengan naskah asli dari Q-Metrick dalam Web Site di Internet:http://www.eq.org. oleh Cooper dkk”What is Emotional Intelligence” (San Fransisco, USA, Q Metrics 70 St :1999). 
[3] Bisa dibandingkan dengan pendapat Abul A’la al Maududi tentang penggunaan kata al-Din yang ada kaitannya dengan potensi dasar manusia dalam al-Qur’an, dalam an-Nahlawi, prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam, (Bandung, CV. Diponegoro: 1992) hal. 32. 
[4] Bisa dibandingkan dengan Q. S. Asy-Syura, ayat 52. 
[5] Alasan tersebut berdasarkan hadits Al-Ghazali, dalam Ihya’ Ulurnuhdin hal. 90, yang berarti.” Sesungguhnya orang mukmin yang dicintai Allah ialah orang yang senantiasa tegak taat kepada-Nya dan memberikan nasihat kepada hamba-Nya, sempurna akal fikirannya, serta menasihati pula akan dirinya sendiri, menaruh perhatian serta mengamalkan ajaran-Nya selama hayatnya, maka beruntung dan memperoleh kemenangan ia”. 
[6] Bisa dilihat dalam Q.S. Adz-Dzariyat:56, yang menyatakan bahwa “Allah tidak menciptakan jin dan manusia, selain untuk menyembah-Nya